Physical Address
Kp. Gandayayi RT.01 RW.05
Desa Cibiuk Kaler Kecamatan Cibiuk Kaler
Kabupaten Garut
Physical Address
Kp. Gandayayi RT.01 RW.05
Desa Cibiuk Kaler Kecamatan Cibiuk Kaler
Kabupaten Garut

[GARUT, TEMPAT.CO] – Proses redistribusi tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Condong di Kabupaten Garut, Jawa Barat, diselimuti kontroversi dan berujung ancaman gugatan hukum. Kuasa hukum mewakili para penggarap lahan dan sebagian warga Desa Tegalgede, Kecamatan Pakenjeng, menyatakan kesiapan untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap Bupati Garut dan Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) setempat.
Asep Muhidin, S.H., M.H., selaku kuasa hukum, menilai proses penetapan penerima tanah dalam program redistribusi itu cacat hukum dan bermasalah secara prosedural. Langkah hukum ini disiapkan menyusul terbitnya Keputusan Bupati Garut Nomor 100.3.3.2/KEP.469-DISPERKIM/2025 tentang Penetapan Subjek Redistribusi Tanah di sejumlah desa di Kecamatan Pakenjeng, Bungbulang, dan Cikelet.
Kejanggalan Daftar Penerima dan Dugaan Ketidaktransparanan
Dalam keterangan pers yang diterima Locus Online, Rabu (3/12/2025), Asep mengungkap sejumlah kejanggalan serius. Pertama, satu keluarga lengkap—mulai dari suami, istri, anak, hingga menantu—tercatat sebagai penerima tanah, meski mereka disebutkan tidak pernah menggarap lahan eks HGU PT Condong tersebut.
“Sebaliknya, warga yang secara nyata telah bertahun-tahun menggarap dan menghidupi keluarga dari lahan itu justru tidak tercantum namanya dalam daftar penerima. Ini sangat tidak adil dan menimbulkan pertanyaan besar,” tegas Asep.
Kedua, yang disorot adalah sikap tertutup dalam pengumuman keputusan tersebut. Asep menduga ada kesengajaan karena dokumen vital bertanggal 3 Oktober 2025 itu baru diketahui masyarakat satu bulan kemudian. Keterlambatan ini dinilai sebagai pelanggaran prinsip transparansi.
“Mengapa tidak disampaikan secara terbuka dan tepat waktu kepada warga Tegalgede maupun publik? Hal ini secara sistematis telah menghilangkan hak warga,” tanyanya.
Strategi Hukum: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Bukan Pembatalan
Asep menjelaskan, pihaknya memilih jalur gugatan perbuatan melawan hukum ketimbang mengajukan gugatan pembatalan (beschikking) secara langsung. Alasannya, secara hukum formal, peluang untuk membatalkan keputusan serupa sangat kecil jika tidak diawali dengan upaya administratif.
“Sesuai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sengketa harus diselesaikan dulu melalui upaya administratif seperti keberatan dan banding. Tanpa itu, pengadilan bisa menolak gugatan pembatalan,” paparnya.
Ironisnya, kesempatan untuk melakukan upaya administratif itu sendiri dinilai telah “digugurkan” oleh pihak berwenang. Pasal 77 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa keberatan dapat diajukan paling lambat 21 hari kerja sejak keputusan diumumkan. Dengan tidak diumumkannya keputusan bupati secara layak, hak warga untuk membela diri lewat jalur administratif pun hilang.
“Oleh karena itu, kami menilai tindakan Bupati Garut selaku ketua GTRA dan timnya mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Mereka harus mempertanggungjawabkan proses yang tidak transparan dan daftar penerima yang tidak sesuai fakta lapangan ini di pengadilan,” tandas Asep Muhidin.
Kasus ini berpotensi menjadi ujian bagi implementasi program reforma agraria di Garut, khususnya terkait prinsip keadilan, transparansi, dan kepastian hukum bagi masyarakat yang selama ini hidup dari penggarapan lahan. (Asep Ahmad)